Okita.News, JAKARTA, -Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) menyatakan dukungannya terhadap penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berlangsung di Mabes Polri, Jakarta. Langkah ini dinilai sebagai bentuk komitmen serius pemerintah dalam memperkuat penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Sabtu, 28 Mei 2025.
Ketua Satuan Gugus Khusus Kebencanaan HAKLI, Johny Sumbung, menyebut kerja sama ini sebagai sinergi strategis antar lembaga negara yang patut diapresiasi. Namun ia menekankan bahwa apresiasi itu harus dibarengi dengan sikap kritis terhadap implementasi nyata dari kesepahaman tersebut.
“Penandatanganan MoU patut diapresiasi sebagai wujud sinergi antar lembaga negara. Namun apresiasi itu perlu diimbangi dengan sikap kritis, sejauh mana kesepahaman ini berdampak nyata terhadap penegakan hukum lingkungan hidup,” tegas Johny, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Sosial Kesehatan di Keluarga Besar Putra Putri POLRI.
HAKLI mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal implementasi MoU tersebut. Menurut Johny, masyarakat memiliki peran penting dalam melaporkan pelanggaran lingkungan, terutama dalam konteks pengelolaan sampah dan limbah yang masih menjadi masalah serius di berbagai daerah.
Ia menyoroti pentingnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) serta UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang telah memberikan dasar hukum dan kewenangan yang kuat kepada aparat penegak hukum, termasuk PPNS di bawah KLHK.
“Indonesia sudah memiliki payung hukum yang jelas. Yang kita butuhkan sekarang adalah penegakan yang konsisten dan tidak pandang bulu,” ujar Johny.
Lebih lanjut, Johny menyampaikan bahwa HAKLI memiliki lebih dari 40.000 tenaga sanitasi lingkungan yang tersebar hingga tingkat puskesmas, yang siap diberdayakan sebagai ujung tombak pengawasan lingkungan.
Johny juga menyoroti pentingnya prinsip "polluters pay" atau “siapa mencemari, dia membayar” untuk ditegakkan sebagai bagian dari supremasi hukum lingkungan.
“Tanpa penegakan hukum yang konkret, kesepakatan formal seperti MoU ini hanya akan menjadi simbol belaka,” ujarnya tegas.
Ia mendesak agar pengawasan difokuskan pada kasus-kasus aktual seperti pencemaran B3 di kawasan industri, tambang ilegal, hingga sistem pengelolaan sampah yang buruk dan merusak lingkungan.
“Jika MoU ini mampu mendorong tindakan nyata, saya optimis hukum lingkungan dapat ditegakkan lebih merata dan berdampak positif terhadap kualitas hidup masyarakat,” pungkas Johny.